Kamis, 01 November 2012

Dewan Pengawas Badan Layanan Umum



Campur tangan pemerintah dalam pelaksanaan administrasi negara mengakibatkan dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan kewajibannya harus memenuhi syarat-syarat seperti:[1]
a.    Efektivitas, artinya kegiatannya harus mengenai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan atau direncanakan
b.    Legitimitas, artinya kegiatan Administrasi Negara jangan sampai menimbulkan heboh oleh karena tidak dapat diterima masyarakat
c.    Yuridikitas, adalah syarat yang menyatkan bahwa perbuatan para pejabat Administrasi Negara tidak boleh melawan atau melanggar Hukum dalam arti luas.
d.   Legalitas, merupakan syarat yang menyatakan bahwa tidak satu pun perbuatan atau keputusan Administrasi Negara yang boleh dilakukan tanpa dasar undang-undang dalam arti luas, bila dengan dalih “keadaan darurat”, wajib untuk dibuktikan.
e.    Moralitas, syarat yang paking diperhatikan oleh masyarakat; moral dan etika umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi.
f.     Efisiensi, wajib dikejar seoptimal mungkin.
g.    Teknik dan teknologi wajib dipakai untuk mengembangkan atau mempertahankan mutu prestasi sebaik-baiknya.
Dalam melaksanakan syarat-syarat tersebut diatas diperlukan daya upaya agar administrasi negara dapat berjalan:[2]
1.    Pengawasan
2.    Pembinaan sistematis
3.    Pembinaan personel
4.    Pengembangan Hukum Administrasi Negara
Sistem pengawasan yang efektif adalah sarana terbaik untuk membuat segala sesuatunya berjalan dengan baik dalam Administrasi Negara, terutama pengawasan preventif. Pengawasan represif hanya berguna bila; a) dilakukan secara komprehensif dan cukup intensif c) bilamana laporannya bersifat cukup objektif dan analitis, dan c) bilamana laporannya disampaikan cukup cepat. Pengawasan adalah proses kegiatan-kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan dengan apa yang dikehendaki, direncanakan atau diperintahkan. Pengawasan menurut Prajudi Atmosudirjo bersifat:[3]
1.    Politik, bilamana menjadi ukuran atau sasaran adalah efektivitas dan atau legitimitas
2.    Yuridis (hukum), bilamana tujuannya adalah menegakkan yuridikitas dan atau legalitas.
3.    Ekonomis, bilamana yang menjadi sasaran adalah efisiensi dan tekhnologi
4.     Moril dan susila, bilamana yang menjadi sasaran adalah mengetahui keadaan moralitas
Menurut Prajudi Atmosudirjo hasil pengawasan ada yang mempunyai akibat hukum, namun sebagian besar bersifat politis, administratif (ketatausahaan, organisasional, manajerial, operasional) atau teknis-fungsional.
Pembinaan baik pembinaan sistematis maupun personel merupakan daya upaya yang menitikberatkan pada peningkatan produktivitas karya, peningkatan organisasi dan manajemen, efektivitas dan efisiensi Administrasi Negara sebagai aparatur yang cukup penting.
Kemudian terdapat permasalahan dalam hal penafsiran Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 pasal 34 ayat (3) yang menyatakan “Dalam pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dibentuk dewan pengawas” dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 109/PMK.05/2007 tentang Dewan Pengawas Badan Layanan Umum didalam pasal 1 poin (4) dikatakan bahwa “Dewan Pengawas BLU, yang selanjutnya disebut Dewan Pengawas, adalah organ BLU yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pengelolaan BLU”. Padahal yang dimaksud dengan pasal 34 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005, Dewan Pengawas disini bertugas melaksanakan pembinaan teknis dan pembinaan keuangan.
Terjadi tumpang tindih pengertian yang ditafsirkan didalam Permenkeu tersebut, adanya pencampuran pengertian pengawasan dan pembinaan yang secara jelas Prajudi membedakan kedua hal tersebut yang dikaitkan dengan keberbedaan dampak dari pelaksanaan pengawasan dan pembinaan yang dikategorikan sebagai salah satu daya upaya untuk membuat Administrasi Negara dapat memenuhi syarat-syarat peunaian tugas, fungsi dan kewajibannya.


[1] Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, cet. 10. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 84.
[2] Ibid., hlm. 83.
[3] Ibid., hlm. 85.

Wewenang Pembinaan Teknis dan Pembinaan Keuangan



Sebelum lebih jauh, Prajudi Atmosudirjo menyatakan bahwa perlu dibedakan antara kewenangan (authority, gezag) dan wewenang (competence, bevoegdheid), walaupun dalam praktek pembedaannya tidak selalu dirasakan perlu. “Kewenangan” adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif Administratif. Kewenangan (yang biasanya terdiri atas beberapa wewenang adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Didalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechts-bevoegdheden). Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik, misalnya wewenang menandatangani/menerbitkan surat-surat izin dari seoranf pejabat atas nama Menteri, sedangkan kewenangan tetap berada di tangan Menteri (delegasi wewenang).[1]
Sedangkan Philipus M. Hadjon menganggap wewenang dan kewenangan tersebut sejajar. Dalam hukum tata negara, wewenang (bevogheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Menurut Henc Van Maarseveen dalam Philipus M. Hadjon wewenang dalam konsep hukum publik berkaitan dengan kekuasaan hukum, yang terdiri atas tiga komponen; 1) pengaruh 2) dasar hukum 3) konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya dan komponen konformitas hukum, mengandung makna standar umum berupa semua jenis wewenang dan standar khusus untuk jenis weweang tertentu.[2]
Dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat dua cara utama memperoleh wewenang pemerintahan, yaitu atribusi dan delegasi, sedangkan mandat ditempatkan sebagai cara tersendiri karena mandat bukan pelimpahan wewenang seperti delegasi.
1.    Atribusi
Menurut Van Wijk Konijnenbelt dalam Philipus M. Hadjon, atribusi dikatakan sebagai cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Atribusi dikatakan merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.[3]
Menurut istilah hukum, atribusi(attributie) mengandung arti pembagian (kekuasaan), dalam kata attributie van rechsmacht, diartikan sebagai pembagian kekuasaan kepada berbagai instansi (absolute competentie atau kompetensi mutlak), yang merupakan sebagai lawan dari distributie van rechtmacht.[4] Dalam hal ini, pembentuk undang-undang menentukan penguasa pemerintah yang baru dan memberikan kepadanya suatu organ pemerintahan berikut wewenangnya, baik kepada organ yang sudah ada maupun yang dibentuk pada kesempatan itu.   


2.    Delegasi
Hukum administrasi Belanda saat ini telah merumuskan pegertian delegasi dalam wet Belanda yang terkenal dengan AWB (Alegemen Wet Bestuursrecht). J.B.J.M. ten Berge dalam Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa dalam artikel 10:3 AWB, delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat “besluit”) oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggungjawab pihak lain tersebut, yang memberi/melimpahkan wewenang tersebut delegans dan yang menerima wewenang disebut delegataris. Syarat-syarat delegasi menurut J.B.J.M. ten Berge dalam Philipus M. Hadjon:[5]
a.    Delegasi harus defenitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.
b.    Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan.
c.    Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubugan hirarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.
d.   Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.
e.    Adanya peraturan kebijakan (beleidsregel) untuk memberikan instruksi tentang penggunaan wewenang tersebut.
Kata delegasi(delegatie) mengandung arti penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Penyerahan yang demikian dianggap tidak dapat dibenarkan selain dengan atau berdasarkan kekuatan hukum. Dengan delegasi, ada penyerahan wewenang dari badan atau pejabat pemerintahan yang satu kepada badan atau pejabat pemerintahan yang satu kepada badan atau pejabat pemerintahan lainnya.[6]
Wewenang delegasi(delegatie bevoegdheid), adalah wewenang yang diperoleh atas dasar pelimpahan wewenang dari badan/organ pemerintahan yang lain. Sifat wewenang delegasi adalah pelimpahan yang bersumber dari wewenang atribusi atau undang-undang. Akibat hukum ketika wewenang dijalankan menjadi tanggungjawab penerima delegasi (delegataris), wewenang tersebut tidak dapat digunakan lagi oleh pemberi wewenang, kecuali pemberi wewenang (delegans) menilai terjadi penyimpangan atau pertentangan dalam menjalankan wewenang tersebut, sehingga wewenang dicabut kembali oleh pemberi delegasi (mandans) dengan berpegang pada asas contrariusactus.
3.    Mandat
Mandat merupakan suatu penugasan kepada bawahan, misalnya untuk membuat keputusan a.n. pejabat yang memberi mandat. Keputusan itu merupakan keputusan pejabat yang memberi mandat, dengan demikian tanggung jawab jabatan tetap pada pemberi mandat.
Wewenang mandate (mandaat bovoegdheid), adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali dilarang secara tegas oleh perundang-undangan. Ditinjau dari segi tanggungjawab dan tanggung gugat atas wewenang yang dijalankan setiap saat wewenang tersebut dapat digunakan atau ditarik kembali oleh pemberi mandate (mandans)[7].

Wewenang Kementerian Teknis dan Kementerian Keuangan tercantum didalam Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dalam pasal 68 ayat (3) yang menyatakan “Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan”, wewenang yang tercantum jelas dalam Undang-undang ini dikategorikan merupakan delegasi langsung dari peraturan perundang-undangan yang ada, disamping itu juga dijelaskan lebih lanjut didalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum jo Perubahannya Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2012 dalam pasal 34 ayat (1) “Pembinaan teknis BLU dilakukan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD terkait “dan ayat (2) “Pembinaan keuangan BLU dilakukan oleh Menteri Keuangan/PPKD sesuai dengan kewenangaanya”.
Pemberian wewenang kepada dua kementerian disini, memunculkan tumpang tindik penafsiran tugas masing-masing untuk satu objek hal yang diatur. Hal ini menyebabkan kesukaran dalam sinkronisasi dua lembaga. Dalam pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dinyatakan bahwa “Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”. Kemudian dikaitkan kembali dengan Badan Layanan umum yang pengertiannya didalam Peraturan Pemerintah No.23 tahun 2005 pasal 1 ayat (1) menjelaskan lebih terperinci “Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatarnya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas”. Sedangkan di pasal 1 ayat (2) nya dijelaskan “Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut PPK-BLU, adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. sebagai pengecualian dan ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya”.
Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dalam BAB XII tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum pasal 68 tersebut jelas yang diatur adalah mengenai pengelolaan keuangan begitu juga dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 yang menjelaskan tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, sehingga fungsi Kementerian Teknis sebagai pembinaan teknis yang seperti apa yang diharapkan dalam Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang diatur didalam Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2005 BAB V tentang Pengelolaan Keuangan BLU, secara tersurat yang diatur dalam pengelolaan keuangan BLU adalah:
1.    Perencanaan dan Penganggaran (diatur dalam Bagian Pertama pasal 10 hingga pasal 13)
2.    Pendapatan dan Belanja (diatur dalam Bagian Ketiga pasal 14 dan pasal 15)
3.    Pengelolaan Kas (diatur didalam Bagian Keempat pasal 16)
4.    Pengelolaan Piutang dan Utang (diatur didalam Bagian Kelima pasal 17 dan pasal 18)
5.    Investasi (diatur dalam Bagian Keenam pasal 19)
6.    Pengelolaan Barang (diatur dalam Bagian Ketujuh pasal 20 hingga pasal 23)
7.    Penyelesaian Kerugian (diatur dalam Bagian Kedelapan pasal 24)
8.    Akuntansi, Pelaporan dan Pertanggungjawaban Keuangan (diatur dalam Bagian Kesembilan pasal 25)
9.    Akuntabilitas Kinerja (diatur dalam Bagian Kesepuluh pasal 28)
10.     Surplus dan Defisit (diatur dalam Bagian Kesebelas pasal 29)
Menjadi sebuah pertanyaan kenapa Kementerian teknis dalam pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum juga diberikan sebuah wewenang pembinaan, padahal jelas dapat dilihat dalam Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum notabene nya hanya memerlukan pembinaan keuangan semata, lebih tepatnya pembinaan BLU ini diberikan kepada satu kementerian saja yaitu Kementerian Keuangan.
Dalam pelaksanaannya ternyata yang siap hanyalah Kementerian Keuangan sebagai pembina keuangan, hal ini dapat dilihat dalam badan Kementerian Keuangan membentuk Direktorat Jenderal Pembendaharaan yang fungsinya:
1.    Penyiapan perumusan kebijakan Departemen Keuangan di bidang perbendaharaan negara;
2.    Pelaksanaan kebijakan di bidang perbendaharaan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3.    Penyusunan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang perbendaharaan negara;
4.    Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perbendaharaan negara;
5.    Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal.
Yang dalam pelaksanaannya membentuk Susunan Organisasi Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan terdiri dari:
a.    Sekretariat Direktorat Jenderal;
b.    Direktorat Pelaksanaan Anggaran;
c.    Direktorat Pengelolaan Kas Negara;
d.   Direktorat Transformasi Perbendaharaan;
e.    Direktorat Sistem Manajemen Investasi;
f.     Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum;
g.    Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan;
h.    Direktorat Sistem Perbendaharaan.
Dapat dilihat dibentuknya direktorat khusus yang menangani Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.  Dalam pelaksanaannya direktorat ini secara umum bertugas menyiapkan perumusan kebijakan, standardisasi, penetapan, bimbingan teknis, evaluasi dan monitoring pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU) dan secara khusus bertugas:
1.    Penyiapan rumusan kebijakan penilaian dan penetapan BLU, kebijakan penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran, pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, piutang dan utang, investasi, akuntansi, serta pelaporan dan pertanggungjawaban BLU;
2.    Penyusunan standardisasi teknis pelaksanaan anggaran, pengelolaan kas, piutang, utang, investasi, akuntansi, serta pelaporan dan pertanggungjawaban BLU;
3.    Pelaksanaan bimbingan teknis penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran, pengelolaan kas, piutang, utang, investasi, akuntansi, serta pelaporan dan pertanggungjawaban BLU;
4.    Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pendapatan, belanja, pengelolaan kas, piutang, utang, investasi, akuntansi , serta pelaporan dan pertanggungjawaban BLU;
5.    Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat.
Sedangkan jika dibandingkan dengan Kementerian Teknis yang dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2005, Kementrian teknis disini yang terkait dengan tugas operasionalnya dalam pemberian pelayanan publik seperti layanan kesehatan, pendidikan, pengelolaan kawasan, dan lisensi. Seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saja tidak punya bagian khusus yang bertugas dalam kaitannya sebagai pembinaan teknis Badan Layanan Umum.
Jadi dualisme wewenang yang tercantum dalam Undang-Undang No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan juga Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum merupakan kebijakan yang bisa dikatakan bias dan akan sulit untuk mencapai fungsi pelayanan publik dalam sistem Hukum Administrasi seperti di Prancis menurut Rolland Principle dalam Philipus M. Hadjon, seperti:[8]
1.    Continueity
Continueity merupakan kontinuitas dalam ketentuan hukum tentang pelayanan, mengikuti tindakan yang diperlukan dalam kepentingan publik.
2.    Adaptability
Adaptability mensyaratkan pejabat pemerintah harus dapat merubah spesifikasi pelayanan sesuai dengan perubahan-perubahan kepentingan publik.
3.    Equality of users
Equality of users merupakan aspek umum ketatanegaraan mengenai prinsip persamaan dalam pelayanan publik.
4.    Neutrality
Neutrality merefleksikan cara negara liberal yang tidak sekadar mencari untuk menentukan idea kehidupan yang baik bagi warga negara, tetapi lebih jauh lagi adalah memfasilitasi pilihan-pilihan tentang perbedaan cara hidup.


[1] Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, cet. 10. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 78.
[2] Philipus M. Hadjon, et al., Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), hlm. 10.
[3] Ibid., hlm. 11.
[4] Agusalim Andi  Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hlm. 101.
[5]Hadjon, et al., op. cit., hlm. 12.
[6] Ibid., hlm. 104.
[7] Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2008), hlm. 60.
[8] Hadjon, et al., op. cit., hlm. 31.

Kementerian Negara sebagai Lembaga Negara



Jimly Asshiddiqie dalam makalahnya “Lembaga-Lembaga Negara Organ Konstitusional Menurut UUD 1945. Dalam ketentuan UUD 1945, terdapat lebih dari 35 subjek jabatan atau subjek hukum kelembagaan yang dapat dikaitkan dengan pengertian lembaga atau organ negara dalam arti yang luas. Artian luas disini mengambil pandangan yang didasarkan atas pendapat Hans Kelsen yang menyatakan bahwa semua organ yang menjalankan fungsi-fungsi ‘law-creating function and law-applying function’ adalah merupakan organ atau lembaga negara. Lihat Hans Kelsen, The General Theory of Law and State. Berdasarkan pandangan Hans Kelsen ini, setiap warga negara yang sedang berada dalam keadaan menjalankan suatu ketentuan undang-undang juga dapat disebut sebagai organ negara dalam arti luas, misalnya, ketika warga negara yang bersangkutan sedang melaksanakan hak politiknya untuk memilih dalam pemilihan umum. Yang bersangkutan dianggap sedang menjalankan undang-undang (law applying function) dan juga sedang melakukan perbuatan hukum untuk membentuk lembaga perwakilan rakyat (law creating function) melalui pemilihan umum yang sedang ia ikuti.
(i)                      Presiden; (Pasal 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, dan Pasal 16 UUD 1945)
(ii)                    Wakil Presiden; (Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, 6A, Pasal 7, 7A, 7B, 7C, Pasal 8, dan Pasal 9 UUD 1945)
(iii)                  Dewan pertimbangan presiden; (Pasal 16 UUD 1945)
(iv)                  Kementerian Negara; (Pasal 17 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) UUD 1945)
(v)                    Menteri Luar Negeri; (Pasal 8 ayat (3) UUD 1945)
(vi)                  Menteri Dalam Negeri; (Pasal 8 ayat (3) UUD 1945)
(vii)                Menteri Pertahanan; (Pasal 8 ayat (3) UUD 1945)
(viii)              Duta; (Pasal 13 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945)
(ix)                  Konsul; (Pasal 13 ayat (1) UUD 1945)
(x)                    Pemerintahan Daerah Provinsi; (Pasal 18 dan 18A UUD 1945)
(xi)                  Gubernur/Kepala Pemerintah Daerah Provinsi; (Pasal 18 ayat (4) UUD 1945)
(xii)                DPRD Provinsi; (Pasal 18 ayat (3) UUD 1945)
(xiii)              Pemerintahan Daerah Kabupten; (Pasal 18 dan 18A UUD 1945)
(xiv)              Bupati/Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten; (Pasal 18 ayat (4) UUD 1945)
(xv)                DPRD Kabupaten; (Pasal 18 ayat (3) UUD 1945)
(xvi)              Pemerintahan Daerah Kota; (Pasal 18 dan 18A UUD 1945)
(xvii)            Walikota/Kepala Pemerintah Daerah Kota; (Pasal 18 ayat (4) UUD 1945)
(xviii)          DPRD Kota; (Pasal 18 ayat (3))
(xix)              Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); (Pasal 2, 3, dan Pasal 8 ayat (2) dan (3) UUD 1945)  
(xx)                Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); (Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945)
(xxi)              Dewan Perwakilan Daerah (DPD); (Pasal 22E ayat (5) UUD 1945)
(xxii)            Komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, yang diatur lebih lanjut dengan undang-undang; (Pasal 23E, 23F, dan Pasal 23G UUD 1945)
(xxiii)          Bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur lebih lanjut dengan undang-undang; (Pasal 23D UUD 1945)
(xxiv)          Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); (Pasal 23E, 23F, dan Pasal 23G UUD 1945)
(xxv)            Mahkamah Agung (MA); (Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945)
(xxvi)          Mahkamah Konstitusi (MK); (Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945)
(xxvii)        Komisi Yudisial (KY); (Pasal 24B dan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945)
(xxviii)      Tentara Nasional Indonesia (TNI), (Pasal 30 ayat (1), (2), (3), dan ayat (5) UUD 1945) dan
(xxix)          Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). (Pasal 30 ayat (1), (2), (4), dan ayat (5) UUD 1945)
(xxx)            Angkatan Darat (AD); (Pasal 10 UUD 1945)
(xxxi)          Angkatan Laut (AL); (Pasal 10 UUD 1945)
(xxxii)        Angkatan Udara (AU); (Pasal 10 UUD 1945)
(xxxiii)      Satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa; (Pasal 18B ayat (1) UUD 1945)
(xxxiv)      Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman35 (Pasal 24 ayat (3) UUD 1945), seperti Kejaksaan Agung (Lihat Rancangan Perubahan Keempat UUD 1945, Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan sebagainya;
(xxxv)        Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. (Pasal 18B ayat (2) UUD 1945)

Menurut Jimly Ashidiqie Lembaga-lembaga atau badan-badan seperti (a) Kejaksaan, (b) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan (c) Komnasham memang tidak disebutkan secara eksplisit keberadaannya dalam UUD 1945. Namun, sejalan dengan prinsip Negara Hukum yang ditentukan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, lembaga-lembaga negara tersebut tetap dapat disebut memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum tatanegara (constitutional law). Apalagi, secara konstitusional keberadaanya dapat dilacak berdasarkan perintah implisit ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 sendiri yang menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Oleh karena itu, lembaga-lembaga penegak hukum yang dibentuk berdasarkan undang-undang tersebut, seperti Kejaksaan, KPK, dan Komnasham dapat disebut memiliki “constitutional importance” sebagai lembaga-lembaga konstitusional di luar UUD 1945.
Lagi pula, seperti dikemukakan oleh C. F. Strong dalamKonstitusi-Konstitusi Modern (Modern Constitututional)Konstitusi secara luas merupakan seluruh sistem ketatanegaraan negara, kumpulan berbagai peraturan yang membentuk dan mengatur/mengarahkan pemerintahan, peraturan ini sebagian bersifat legal dalam artian bahwa pengadilan hukum mengakui dan menerapkan peraturan-peraturan tersebut, dan sebagian bersifat non-legal atau ekstra legal, yang berupa kebiasaan, saling-pengertian, adat atau konvensi, yang tidak diakui oleh pengadilan sebagai hukum namun tidak kalah efektifnya dalam mengatur ketatanegaraan dibandingkan dengan apa yang secara baku disebut hukum.[1] A.V. Dicey ataupun C. F. Strong dalam makalah Jimly Asshiddiqie, meyatakanconstitutional law” itu sendiri tidak hanya bersumber pada hukum konstitusi yang tertulis, tetapi juga berdasarkan berdasarkan konstitusi yang tidak tertulis. Yang dimaksud dengan “the laws of the constitution” dalam arti yang tertulispun tidak hanya menyangkut teks undang-undang dasar, tetapi juga undang-undang tertulis juga dapat menjadi sumber dalam hukum tatanegara (the sources of constitutional law). Oleh karena itu, lembaga-lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung, KPK, dan Komnasham, meskipun tidak disebut secara eksplisit dalam UUD 1945, kedudukannya tetap memiliki “constitutional importance” yang sama pentingnya dengan Kepolisian Negara (POLRI) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kedudukan dan kewenangannya secara khusus diatur dalam Pasal 30 UUD 1945.
Sedangkan ketentuan mengenai poin (iv) yaitu Kementerian Negara yang secara gamblang dijelaskan dalam BAB V Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 dalam pasal 17 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) UUD 1945), menurut Jimly dalam bukunya “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi” menyatakan banyak orang yang kurang sungguh-sungguh mengenai hal ini karena dianggap merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kewenangan mutlak (hak preorogatif) presiden sebagai kepala negarayang sekaligus adalah kepala pemerintahan. Sebenarnya pengaturan soal kementerian negara yang tersendiri dalam Bab yang terpisah dari Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berkaitan dengan kekuasaan presiden, mengandung arti yang tersendiri pula.[2] Melihat rumusan asli maupun perubahan dalam pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang harus dicatat mengenai pokok pengaturan yang pisahkan kedalam Bab tersendiri mengindikasikan bahwa kedudukan menteri-menteri negara itu dianggap sangat penting dalam sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945. Presiden Republik Indonesia menurut Undang-Undang Negara Republik Indonesia jika ditilik lebih dalam menurut pendapat Jimly Asshiddiqie bukanlah merupakan kepala eksekutif. Kepala eksekutif sebenarnya adalah menteri yang bertanggungjawab kepada presiden.sehingga diartikan kedudukannya sangatlah tinggi sebagai pemimpin pemerintahan eksekutif sehari-hari, artinya para menteri itulah yang pada pokoknya merupakan pimpinan pemerintahan dalam artian sebenarnya dibidang tugasnya masing-masing.[3]


[1] K.C Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern (Modern Constitution), cet. 5. (Bandung: Nusa Media, (Diterjemahkan dari karya K.C. Wheare, Modern Constitution, Oxford University Press, 1996)), hlm. 1.
[2] Jimly Ashidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekjend dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hlm. 172.
[3] Ibid., hlm. 173.