Selasa, 19 Juni 2012

Kewenangan I


Selasa, 19 Juni 2012 Pukul 21.02

Istilah kewenangan atau wewenang disejajarkan dengan “authority” dalam bahasa Inggris dan “bevoegdheid” dalam bahasa Belanda. Authority dalam Black’s Law Dictionary diartikan legal power; a right to command or to a act; the right and power of public officers to require obedience to their orders lawfully issued in scope of their publikc duties. (kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik. Wewenang menurut Philipus M. Hadjon, dalam konsep publik wewenang sekurang-kurangnya terdiri dari 3 komponen, yaitu:[1]
1.      Komponen Pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum.
2.      Komponen dasar hukum menyatakan bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya.
3.      Komponen konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu)
Adanya dasar hukum yang didasarnya pada asas legalitas yang didalam hukum admnistrasi disebut “wetmatigheid van bestuur” yang berakar pada kekuasaaan pemerintahan atau bestuur. Konsep bestuur menggambarkan bahwa kekuasan disini tidaknya hanya terikat tetapi juga kekuasaan bebas (vrij bestuur, Fries Ermessen, discretionary power)[2], yang meliputi:
a.       Kebebasan kebijakan (diskresi dalam arti sempit), artinya bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah dengan bebas untuk tidak menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi.
b.      Kebebasan penilaian (diskresi dalam arti tidak sesungguhnya) adalah hak yang diberikan organ pemerintah untuk menilai secara mandiri dan eklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah terpenuhi.
Hubungan kewenangan dengan hukum administrasi dan hukum tata negara yang berisikan norma hukum pemerintahan menjadi parameter dalam penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah, seperti parameter kepatuhan hukum (improper legal) atau ketidakpatuhan hukum (improper illegal) yang harus dipertanggungjawabkan. Hukum administrasi hakikatnya berhubungan dengan kewenangan publik, cara pengujian kewenangan, dan kontrol terhadap kewenangan.[3]
Sumber wewenang yaitu atribusi, delegasi dan mandat, terkait dengan itu J.G.Brouwer dan A.E.Schilder bahwa:[4]
1.      With attribution, power is granted to an administrative authority by an independent legislative body. The power is initial (originair), which is to say that is not derived from a previously non existent powers and assigns them to an authority.
2.      Delegations is te transfer of an acquired attribution of power from one administrative authority to another, so that the delegate (the body that has acquired the power) can exercise power in its own name.
3.      With mandate, there is no transfer, but the mandate giver (mandans) assigns power to the other body (mandataris) to make decisions or take action in its name.
Atribusi diberikan kepada badan administrasi oleh badan legislatif, asli tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya, mandiri dan bukan putusan kewenangan sebelumnya. Delegasi merupakan kewenangan yang ditransfer dari atribusi sehingga dlegator dapat menguji kewenangan tersebut. Mandat bukan merupakan tranfer kewenangan tetapi hanya memberi wewenangan suatu badan untuk membuat suatu keputusan atau mengambil tindakan atas namanya. (G-Mv) to be continues...


[1] Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5&6 Tahun XII, Sep-Des 1997, hlm.1. (Philipus M. Hadjon III)
[2] Philipus M. Hadjon, Discretionary Power dan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), Paper disampaikan pada Seminar Nasional “Aspek Pertanggungjawaban Pidana dalam Kebijakan Publik dari Tindak Pidana Korupsi”, Semarang, 6-7 Mei 2004, hlm. 1.
[3] Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004,hlm. 62.
[4] Brouwer J.Gdan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars Aequi Libri, Nijmegen, 1998. Page. 16.

Selasa, 12 Juni 2012

Dualisme Badan Layanan Umum I


Rabu, 13 Juni 2012 Pukul 07.29
  
Badan Layanan Umum atau biasa disingkat BLU menurut pasal 1 ayat (1) tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara merupakan instansi di lingkungan pemerintah dan atau pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan layanan kepada masyarakat berupa berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatarnya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Tujuan BLU didalam pasal 68 ayat (1) Undang-Undang No 1 tahun 2004 tersebut dibentuk (1) untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan (2) mencerdaskan kehidupan bangsa.
Badan Layanan Umum berbeda dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), walaupun dalam beberapa hal memiliki persamaan. BUMN merupakan personifikasi negara dalam wujudnya sebagai badan hukum perdata, tetapi bertujuan mendukung terwujudnya aktivitas perekonomian untuk kesejahteraan bersama.[1] BUMN memperoleh privillage dari negara untuk melaksanakan kegiatan usaha tertentu sehingga secara yuridis negara sebagai entitas hukum publik dan organisasi kekuasaan tertentu tidak dapat berperan aktif dan langsung dalam kegiatan usaha yang akan mengurangi fungsinya melaksanakan pemerintahan dan pelayanan publik sehingga secara integral diarahkan tidak hanya sebagai aktor usaha tetapi juga mencari laba yang tercermin dalam pasal 2 ayat (1) huruf b UU Nomor 19 tahun 2003.
BLU juga berbeda dengan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, jika BUMN didirikan dengan pemisahan negara yang dipisahkan melalui peraturan pemerintah, BUMD didirikan dengan pemisahan kekayaan daerah berdasarkan peraturan daerah yang penyelenggaraannya lebih dekat kearah desentralisasi dan otonomi daerah. BUMD memiliki keterkaitan erat dengan pemerintah daerah dalam rangka mengelola dan memeprtanggungjawabkan perusahaan. Hal ini berarti kedudukan BUMD adalah sebagai transfer regulated, yaitu perusahaan yang nyata milik daerah atau perusahaan yang dilakukan bukan oleh negara sendiri melainkan daerah otonom yang bersangkutan dengan mengadakan pemisahan kekayaan daerah atau sebagai bentuk investasi daerah. Dalam status hukum keuangan, BUMD sebagai badan hukum perdata keuangan tidak termasuk keuangan daerah dalam APBD apalagi keuangan negara.[2]
BLU juga berbeda dengan Yayasan sebagai badan hukum (legal entity) “Yayasan adalah badan hukum yang terdiri dari kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota” menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Yayasan. Sebagai badan hukum keungannya terpisah secara tegas agar hak dan kewajibannya yang dapat dinilai dengan uang jelas secara hukum. Yayasan sebagai badan hukum perdata berbeda dengan perusahaan yang diarahkan mencapai keuntungan, karena yayasan memiliki kepentingan pada pencapaian maksud dan tujuan yang diberikan kewenangan bersifat delegasi atau mandat dalam rangka menjalankan sebagain kewenangan pemerintah.[3]
Jika melihat status keuangan BLU sendiri bisa dikategorikan sebagai keuangan negara karena dari sisi regulasi, tata kelola dan resiko masih berada pada lingkungan kuasa hukum keuangan negara itu menurut Dian Puji N. Simatupang.[4] Namun BLU yang tidak hanya dapat dibentuk oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan pelayanan publik negara juga dapat dibentuk pemerintah daerah dengan menjalankan praktik usaha berkaitan dengan pelayanan publik daerah yang disebut dengan BLUD, bukankah dalam konsep keuangan negara Dian Puji N. Simatupang mengatakan bahwa “...APBN adalah wujud keuangan negara sehingga keuangan negara tidak berwujud pada bentuk keuangan negara yang lain untuk mencapai kepastian hukum.”[5] Menjadi pertanyaan bagimanakah sebenarnya status instanis ketika menggunakan pola BLU tersebut yang dibentuk pemerintah daerah dengan menjalankan praktik usaha berkaitan dengan pelayanan publik daerah disebut dengan BLUD yang diatur Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan  Badan Layanan Umum Daerah. BLU merupakan konsep baru tapi memiliki berbagai kerancuan secara yuridisnya. (G-Mv) to be continue...


[1] Panji Anoraga, BUMN, Swasta dan Koperasi Tiga Pelaku Ekonomi, (Semarang: Pustaka Jaya, 1994), hlm. 21.
[2] Dian Puji N. Simatupang, Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah. (Jakarta: Badan penerbit FHUI, 2011), hlm. 229-233.
[3] Ibid., hlm. 291.
[4] Ibid., hlm. 281.
[5] Ibid., Kata Pengantar Paradoks Rasionalitas..

Senin, 11 Juni 2012

Bank Indonesia dan Pemerintah


Selasa, 12 Juni 2012 Pukul 06.54
  
Bank Indonesia didirikan pada 2 Juli 1951 mempunyai tugas yang ditegaskan didalam pasal 7 UU omor 13 tahun 1968 yang menyatakan: (1) mengatur, menjaga, dan memelihara stabilitas nilai rupiah; (2) mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat. Tugas yang kedua ini membuat Bank Indonesia berperan aktif dalam sektor ekonomi makro, yang membuat posisi dan fungsi Bank sentral menjadi berkurang dalam menjalankan posisi strategis menjaga kestabilan rupiah. Bank Indonesia yang pada awalnya berada dibawah koordinasi Menteri Keuangan menyulitkan posisinya dalam mengambil kebijakan moneter dan perbankan secara bebas. Konsekuensi yuridis kedudukan Bank Indonesia yang berada dalam koordinasi pemerintah adalah segala kebijakan yang diambil merupakan bagian dari rencana dan kebijakan Pemerintah. Akibatnya ada persepsi fungsi Bank Indonesia sebagai bankir pemerintah lebih terlihat menonjol dibandingkan sebagai penjaga stabilitas moneter.[1]
Dengan landasan hukum yang baru didalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia, terdapat tiga tugas yang harus dilakukan Bank Indonesia yaitu; (1) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter (2) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dan (3) mengatur dan mengawasi bank. Dalam ketiga tugas tersebut terdapat kesepadanan yang saling kait mengait dimana menciptakan keadaan Bank Indonesia harus mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang berkaitan dengan aspek pengelolaan moneter, sistem pembayaran dan perbankan secara konsisten dan harmonis.
Penerapan Bank Indonesia dalam kebijakan moneternya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bkebijakan ekonomi nasional, namun bisa saja kebijakan moneter yang diberikan Bank Indonesia berbeda dengan kebijakan ekonomi yang ditetapkan Pemerintah. Misalnya saja dalam menentukan laju inflasi dalam penyusunan rancangan pendapatan dan  belanja negara (APBN), Bank Indonesia akan menetapkan atas dasar perkembangan dan prospek ekonomi makro sedangkan pemerintah lebih melihat pada empat asumsi yaitu harga minyak dunia, nilai kurs rupiah terhadap dollar AS, pertumbuhan ekonomi dan nilai ekspor.
Mengenai hubungan pemerintah, Bank Indonesia disinii berposisi sebagai pemegang kas Pemerintah, dimana Bank Indonesia menatausahakan rekening yang dimiliki pemerintah serta menerima pinjaman luar negeri. Dalam hal kebijakan pemerintah dalam bidang perekonomian, khususnya perbankan dan keuangan terkait erat dengan tugas Bank Indonesia, didalam rapat kabinet Gubernur BI memberikan pandangan dan pendapat mengenai kebijakan perekonomian yang akan diambil pemerintah namun bersifat konsultatif saja.[2] Dalam hal pengajuan RAPBN, Bank Indonesia juga memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah khususnya terhadap volume maupun isi RAPBN sebagai analisis moneter sebagi pendukung pelaksanaan APBN. Kemudian dalam hal penerbitan surat utang negara, pemerintah harus berkonsultasi dulu dengan Bank Indonesia agar tidak berakibat negatif terhadap kebijakan moneter.[3]
Dengan melihat dasar hubungan pemrintah dengan Bank Indonesia yang bersifat konsultatif tersebut kalau menurut pendapat Dian Puji N. Simatupang merupakan sifat independensi yang berhakikat kekuatan, kedaulatan dan kekuasaan merumuskan serta melaksanakan kebijakan moneter.[4] Namun perlu dikaji ulang lagi seberapa kuat fungsi dan tugas Bank Indonesia sebagai penentu kebijakan moneter? (G-Mv)


[1] Dian Puji N. Simatupang, Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah. (Jakarta: Badan penerbit FHUI, 2011), hlm. 266.
[2] Ibid., hlm. 278.
[3] Ibid., hlm. 279.
[4] Ibid., hlm. 279.

Jumat, 08 Juni 2012

Pengertian Keuangan Negara III

Jumat, 08 Juni 2012 Pukul 13.37
  
Dalam teori hukum, jika peraturan perundang-undangan tidak memberikan kepastian hukum, maka aturan hukum dikembalikan pada asas hukum umumnya sebagai norma dasar yang dijabarkan dalam hukum positif yang mengatur mengenai keuangan negara.[1] Para ahli hukum memandang pengertian dan ruang linfkup keuangan negara dalam peraturan perundang-undangan memiliki makna karet (caoutchouctermen) yang mengaburkan kepastian hukum dan mengarah ke penarapan yang berakal buruk (te kwader trouw), maka harus sesuai dengan keadaan sosial yang sungguh-sungguh (sociale werkelijkheid)[2]
Penafsiran pertama menurut istilahnya (taalkundige interpretatie) oleh Harun Alrasid menyatakan maksud keuangan negara adalah anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBN). A. Hamid S. Attamimi menggunakan penafsiran kedua menurut sejarah (historiche interpretatie) yang mengartikan keuangan negara adalah segala sesuatu kegiatan yang berkiatan dengan uang yang dibentul oleh negara untuk kepentingan publik seperti APBN, APBD, BUMN, BUMD dan seluruh harta kekayaan negara. Harta kekayaan disini sama dengan keuangan negara sehingga menimbulkan hak; menciptakan uang, hak mendatangkan hasil, hak melakukan pungutan, hak meminjam, dan hak memaksa serta menimbulkan kewajiban; menyelenggarakan tugas negara dan membayar hak tagihan pihak ketiga. Penafsiran ketiga dilakukan Arifin P. Soeria Atmadja melalui penafsiran yang ada dalam masyarakat (penafsiran teleologis). Keuangan negara dalam artian sempit berupa APBN untuk mengetahui sistem pengurusan dan pertanggungjawabannya, sedangkan dalam artian luas APBN, APBD, BUMN/BUMD dan seluruh kekayaan negara jika melalui pendekatan sistematis dan teleologis. Penafsiran ini memberika penjelasan semua sektor keuangan memiliki aturan sendiri atau tata kelola (rechtregiem) yang sejalan dengan perkembangan masayarakat, sekaligus memberi kemudahan pemerintah mengambil keputusan dalam bidang keuangan negara berdasarkan atas hukum (rechtshabdeling) dan berdasarkan fakta (feitelijke handeling).
Secara prinsip UU No 17 tahun 2003 tidak membedakan status hukum uang dan kepemilikian kekayaan dalam suatu badan negara, badan daerah badan usaha milik negara maupun daerah, sehingga menyalahi konsep hukum yang tegas membedakan antara kepunyaan publik (public domain) dan kepunyaan privat (privat domain) dalam kekayaan dan keuangan negara. (G-Mv) end of defenisi.


[1] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2007), hlm. 5.
[2] Dian Puji N. Simatupang, Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah. (Jakarta: Badan penerbit FHUI, 2011), hlm. 131.

Kamis, 07 Juni 2012

Pengertian Keuangan Negara II


Jumat, 08 Juni 2012 Pukul 09.31
  
Pengertian keuangan negara secara gramatikal berarti segala sesuatu yang dinilai dengan uang negara atau tentang uang yang dimiliki negara dalam menggunakan uangnya, sehinga dianggap sebagai hak (aktiva) dan kewajiban (passiva) sehingga rumusan gramatikal keuangan negara seharusnya tidak terlepas pada aspek hak dan kewajiban, yang tentu harus dibatasi ruang lingkupnya dengan maksud agar hak yang dimiliki negara dan kewajiban yang menjadi beban negara tidak begitu meluas, sehungga memiliki resiko yang meluas. Dalam padanan nalar hukum, keuangan negara tentu ditujukan pada negara sebagau subjek hukum, yaitu badan hukum publik.[1] Secara kontekstualisasinya hukum keuangan negara seharusnya mengutamakan kepentingan hak dan kewajiban pihak yang terlibat (belangenafweging), sehingga tidak ada subjek hukum yang dirugikan.[2] Namun disisi lain hukum keuangan negara harus memenuhi kepastian hukum (rechtszerkeid), sehingga menimbulkan kesetaraan dalam kenyataan hukum (rechtswerkelijkheid) dan peraturan perundang-undangan (positief rescht).
Kaidah hukum pertama mengenai keuangan negara adalah perundang-undangan Hindia belanda yaitu Indonesiche Comptabiliteitswet (ICW) kemudian diundangkan sebagai UU Perbendaharaan Negara Nomor 9 tahun 1968. ICWtidak menjelaskan batasan hukum keuangan negara hanya menjelaskan “keuangan Negara Republik Indonesia diurus dan dipertanggungjawabkan menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang ini”, maka yang dimaksud keuangan negara dalam ICW adalah anggaran pendapatan dan belanjda daerah (APBN).
Kontradiksi terjadi ketika Stbl. Tahun 1933 Nomor 320 mengenai instructie Algemene Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan) menyatakan dana-dana serta yayasan harus dipertanggungjawabkan kepada BPK. Demikian juga dalam UU No 17 tahun 1965 tentang BPK menyatakan “keuangan negara adalah segala kekayaan negara dalam bentuk apapun juga, baik terpisah maupun tidak”. Kemudian UU No 5 tahun 1973 tentang BPK menyatakan “pemeriksaan yang dilakukan terhadap pertanggungjawaban keuangan negara termasuk pelaksanaan apbn (baik rutin maupun pembangunan), apbd serta anggaran perusahaan milik negara, hakikatnya sluruh kekayaan negara...”. Hal ini menyebabkan pengertian dan ruang lingkup keuangan negara menjadi sangat luas.
Muncul pula pengertian keuangan negara yang sebenarnya tidak berkaitan dengan teknis keuangan negara dari UU No 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi yang menyatakan “keuangan negara sebagai hakikat seluruh kekayaan negara termasuk keuangan daerah atau badan hukum yang mempergunakan modal dari negara atau masyarakat untuk kepentingan sosial, kemanusiaan. Tidak termasuk keuangan negara dalam undang-undang ini ialah keuangan badan hukum yang seluruh modalnya dari swasta misalnya PT, firma, CV dan lain-lain” Tarik ulur pengertian keuangan negara menyebabkan kebingungan.
Pengertian Keuangan dalam Peraturan Perundang-undangan
No
Undang-Undang
Materi pengertian dan ruang lingkup keuangan negara
Sifat
1
UU No 17 tahun 2003
-   Hak dan kewajiban negara
-   Penerimaan dan pengeluaran negara
-   Penerimaan dan pengeluaran daerah
-   Kekayaan negara/daerah dipisahkan dan haknya
-   Kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah
-   Kekayaan pihak lain yang menggunaan fasilitas pemerintah
Luas, meliputi keuangan publik dan privat
2
UU No 19 tahun 2003
Keuangan BUMN tidak tunduk pada APBN, tunduk pada prinsip perusahaan yang sehat
Sempit, hanya keuangan privat
3
UU No 1 tahun 2004
Perbendaharaan negara hanya sebatas APBN dan APBD
Sempit, hanya keuangan privat
4
UU No 15 tahun 2004
Pemeriksaan yang dilakukan BPK adalah seluruh unsur dalam pasal 2 UU Keuangan Negara
Luas, meliputi keuangan publik dan privat
5
UU No 32
Keuangan daerah adalah keuangan milik daerah dalam menjalankan hak dan kewajibannya
Sempit, sektor keuangan publik
6
UU no 15 tahun 2006
BPK  memeriksa keuangan negara yabg dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, BI, BUMN, BUMD, BLU dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara menurut pasal 2 UU Keuangan Negara
Luas, sektor keuangan publik dan privat
7
UU No 39 tahun 2007
Uang negara adalah uang yang dikuasai oleh bendahara umum
Sempit, sektor keuangan publik

Perbedaan mempersepsikan ruang liangkup keuanga negara mengenyampingkan tata kelola (rechtregiem) yang membawa implikasi terhadap tiga hal, (1) regulation (pengaturan) (2) governance (tata kelola) dan (3) risk (resiko).[3] (G-Mv) continues...


[1] Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 57.
[2] E. Utrecht, Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1959), hlm. 24.
[3] Dian Puji N. Simatupang, Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah. (Jakarta: Badan penerbit FHUI, 2011), hlm. 122.

Pengertian Keuangan Negara I


Kamis, 07 Juni 2012 Pukul 19.55


Didalam Konstitusi RIS 1949, Soenarko dalam bukunya “Susunan Negara Kita Jilid II” menyatakan keuangan negara pada masa itu diarahkan kepada anggaran belanja negara (begroting).[1] Dalam KRIS 1949, perihal keuangan negara diatur dalam 10 buah pasal yaitu pasal 164 hingga pasal 173, ketentuan diatas menunjukkan keuangan negara yang diatur adalah (1) moneter (2) anggaran penerimaan dan belanja (3) pinjaman (4) gaji (5) pensiun. Kewenangan pengelolaan keuangan negara di dalam KRIS ini sebagai negara federal berhak menyusun anggaran dan menjalankan urusan umum keuangan federal, Pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara terbatas pada pengeluaran dan penerimaan Republik Indonesia Serikat, Ruang lingkup keuangan negara ditafsirkan secara gramatikal (taalkundige interpertatie) pada lingkup moneter, anggaran umum, pinjaman, pajak dan pensiun yang kemudian karena perilaku politik saat itu dimasukkan pula perusahaan negara dalam pengurusaan keuangan negara.[2]
Undang-undang Dasar Sementara 1950, pengaturan keuangan negara era demokrasi parlementer tahun 1950-1959 ini mengandung kedinamisan dalam hal kejelasan secara normatif tapi tiada perubahan berarti mengenai aspek keuangan kecuali perubahan substansial masalah bentuk negara dan sistem pemerintahan yang cukup mempengaruhi pelaksanaan aspek keuangan. Pengertian keuangan negara tidak dicantumkan didalam UUDS 1950 tetapi Dewan Pengawas Keuangan dalam suratnya kepada parlemen no: 2519/TU/59 tanggal 21 Juli 1959 menyatakan keuangan negara adalah:
“kekayaan  negara dalam segala bagian-bagiannya yang meliputi milik negara berupa uang, benda-benda berharga dan barang-barang demikian pula hak dan kewajiban berupa uang, benda-benda berharga dan barang-barang yang tuimbul karena milik-milik itu.”
Dengan melihat definisi keuangan negara tersebut dapat dipahami keuangan negara disini secara meluas sebagai formulasi hak dan kewajiban yang berasal, bersumber dan diperoleh negara atas dasar redistribusi keuangan dan/atau kekayaan negara. Ruang lingkup keuangan negara berdasarkan UUDS 1950 melekat sifat hakikatnya (wezenlijk) dengan fungsi negara yang keseluruhan menyelenggaran tugas (verwezenlijking van de taak), perluasan ini memfokuskan keuangan tidak hanya pada anggaran pendapatan dan belanja tapi juga keuangan daerah dan keuangan perusahaan negara.[3]
UUD 1945 atau disebut Konstitusi Proklamasi yang merupakan hasil kesepakatan PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, merupakan undang-undang dasar yang singkat dan sederhana memuat hal-hal pokok konstitusi saja. Rumusan keuangan negara dalam pasal 23 namun tidak menuliskan ruang lingkup keuangan negara secara jelas walaupun sudah ada istilah keuangan negara. Ada beberapa pendapat mengenai ruang lingkup keuangan negara sebagaimana pasal 23 ayat (4) UUD 1945 menurut Muhammad Yamin adalah moneter, Bank Indonesia, dan devisa.[4] Lebih lanjut Arifin P. Soeria Atmadja mengemukakan kedudukan keuangan negara dalam hal investasi dan fungsi pelayanan publik terutama BUMN menyebabkan konsekuensi logis dari penyertaan modal menjadi ikut menanggung resiko dan bertanggung jawab terhadap kerugian usaha yang dibiayainya. Pada perubahan ketiga UUD 1945 menjelaskan hakekat keuangan negara dalam rumusan pasal 23 yang menimbulkan permasalahan baru. Permasalahan ini terus terermin juga didalam UU Nomor 17 tahun 2003.[5] (G-Mv) continues...


[1] R. Soenarko, Susunan Negara Kita Jilid II. (Jakarta: Djambatan, 1950), hlm. 76.
[2] Dian Puji N. Simatupang, Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah. (Jakarta: Badan penerbit FHUI, 2011), hlm. 74.
[3] Ibid, Dian Puji N. Simatupang, hlm. 91.
[4] Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. (Jakarta: Djambatan, 1952), hlm. 519.
[5] Op., Cit., Dian Puji N. Simatupang, hlm. 101.