Kamis, 07 Juni 2012

Pengertian Keuangan Negara I


Kamis, 07 Juni 2012 Pukul 19.55


Didalam Konstitusi RIS 1949, Soenarko dalam bukunya “Susunan Negara Kita Jilid II” menyatakan keuangan negara pada masa itu diarahkan kepada anggaran belanja negara (begroting).[1] Dalam KRIS 1949, perihal keuangan negara diatur dalam 10 buah pasal yaitu pasal 164 hingga pasal 173, ketentuan diatas menunjukkan keuangan negara yang diatur adalah (1) moneter (2) anggaran penerimaan dan belanja (3) pinjaman (4) gaji (5) pensiun. Kewenangan pengelolaan keuangan negara di dalam KRIS ini sebagai negara federal berhak menyusun anggaran dan menjalankan urusan umum keuangan federal, Pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara terbatas pada pengeluaran dan penerimaan Republik Indonesia Serikat, Ruang lingkup keuangan negara ditafsirkan secara gramatikal (taalkundige interpertatie) pada lingkup moneter, anggaran umum, pinjaman, pajak dan pensiun yang kemudian karena perilaku politik saat itu dimasukkan pula perusahaan negara dalam pengurusaan keuangan negara.[2]
Undang-undang Dasar Sementara 1950, pengaturan keuangan negara era demokrasi parlementer tahun 1950-1959 ini mengandung kedinamisan dalam hal kejelasan secara normatif tapi tiada perubahan berarti mengenai aspek keuangan kecuali perubahan substansial masalah bentuk negara dan sistem pemerintahan yang cukup mempengaruhi pelaksanaan aspek keuangan. Pengertian keuangan negara tidak dicantumkan didalam UUDS 1950 tetapi Dewan Pengawas Keuangan dalam suratnya kepada parlemen no: 2519/TU/59 tanggal 21 Juli 1959 menyatakan keuangan negara adalah:
“kekayaan  negara dalam segala bagian-bagiannya yang meliputi milik negara berupa uang, benda-benda berharga dan barang-barang demikian pula hak dan kewajiban berupa uang, benda-benda berharga dan barang-barang yang tuimbul karena milik-milik itu.”
Dengan melihat definisi keuangan negara tersebut dapat dipahami keuangan negara disini secara meluas sebagai formulasi hak dan kewajiban yang berasal, bersumber dan diperoleh negara atas dasar redistribusi keuangan dan/atau kekayaan negara. Ruang lingkup keuangan negara berdasarkan UUDS 1950 melekat sifat hakikatnya (wezenlijk) dengan fungsi negara yang keseluruhan menyelenggaran tugas (verwezenlijking van de taak), perluasan ini memfokuskan keuangan tidak hanya pada anggaran pendapatan dan belanja tapi juga keuangan daerah dan keuangan perusahaan negara.[3]
UUD 1945 atau disebut Konstitusi Proklamasi yang merupakan hasil kesepakatan PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, merupakan undang-undang dasar yang singkat dan sederhana memuat hal-hal pokok konstitusi saja. Rumusan keuangan negara dalam pasal 23 namun tidak menuliskan ruang lingkup keuangan negara secara jelas walaupun sudah ada istilah keuangan negara. Ada beberapa pendapat mengenai ruang lingkup keuangan negara sebagaimana pasal 23 ayat (4) UUD 1945 menurut Muhammad Yamin adalah moneter, Bank Indonesia, dan devisa.[4] Lebih lanjut Arifin P. Soeria Atmadja mengemukakan kedudukan keuangan negara dalam hal investasi dan fungsi pelayanan publik terutama BUMN menyebabkan konsekuensi logis dari penyertaan modal menjadi ikut menanggung resiko dan bertanggung jawab terhadap kerugian usaha yang dibiayainya. Pada perubahan ketiga UUD 1945 menjelaskan hakekat keuangan negara dalam rumusan pasal 23 yang menimbulkan permasalahan baru. Permasalahan ini terus terermin juga didalam UU Nomor 17 tahun 2003.[5] (G-Mv) continues...


[1] R. Soenarko, Susunan Negara Kita Jilid II. (Jakarta: Djambatan, 1950), hlm. 76.
[2] Dian Puji N. Simatupang, Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah. (Jakarta: Badan penerbit FHUI, 2011), hlm. 74.
[3] Ibid, Dian Puji N. Simatupang, hlm. 91.
[4] Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. (Jakarta: Djambatan, 1952), hlm. 519.
[5] Op., Cit., Dian Puji N. Simatupang, hlm. 101.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar