Jumat, 08 Juni 2012

Pengertian Keuangan Negara III

Jumat, 08 Juni 2012 Pukul 13.37
  
Dalam teori hukum, jika peraturan perundang-undangan tidak memberikan kepastian hukum, maka aturan hukum dikembalikan pada asas hukum umumnya sebagai norma dasar yang dijabarkan dalam hukum positif yang mengatur mengenai keuangan negara.[1] Para ahli hukum memandang pengertian dan ruang linfkup keuangan negara dalam peraturan perundang-undangan memiliki makna karet (caoutchouctermen) yang mengaburkan kepastian hukum dan mengarah ke penarapan yang berakal buruk (te kwader trouw), maka harus sesuai dengan keadaan sosial yang sungguh-sungguh (sociale werkelijkheid)[2]
Penafsiran pertama menurut istilahnya (taalkundige interpretatie) oleh Harun Alrasid menyatakan maksud keuangan negara adalah anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBN). A. Hamid S. Attamimi menggunakan penafsiran kedua menurut sejarah (historiche interpretatie) yang mengartikan keuangan negara adalah segala sesuatu kegiatan yang berkiatan dengan uang yang dibentul oleh negara untuk kepentingan publik seperti APBN, APBD, BUMN, BUMD dan seluruh harta kekayaan negara. Harta kekayaan disini sama dengan keuangan negara sehingga menimbulkan hak; menciptakan uang, hak mendatangkan hasil, hak melakukan pungutan, hak meminjam, dan hak memaksa serta menimbulkan kewajiban; menyelenggarakan tugas negara dan membayar hak tagihan pihak ketiga. Penafsiran ketiga dilakukan Arifin P. Soeria Atmadja melalui penafsiran yang ada dalam masyarakat (penafsiran teleologis). Keuangan negara dalam artian sempit berupa APBN untuk mengetahui sistem pengurusan dan pertanggungjawabannya, sedangkan dalam artian luas APBN, APBD, BUMN/BUMD dan seluruh kekayaan negara jika melalui pendekatan sistematis dan teleologis. Penafsiran ini memberika penjelasan semua sektor keuangan memiliki aturan sendiri atau tata kelola (rechtregiem) yang sejalan dengan perkembangan masayarakat, sekaligus memberi kemudahan pemerintah mengambil keputusan dalam bidang keuangan negara berdasarkan atas hukum (rechtshabdeling) dan berdasarkan fakta (feitelijke handeling).
Secara prinsip UU No 17 tahun 2003 tidak membedakan status hukum uang dan kepemilikian kekayaan dalam suatu badan negara, badan daerah badan usaha milik negara maupun daerah, sehingga menyalahi konsep hukum yang tegas membedakan antara kepunyaan publik (public domain) dan kepunyaan privat (privat domain) dalam kekayaan dan keuangan negara. (G-Mv) end of defenisi.


[1] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2007), hlm. 5.
[2] Dian Puji N. Simatupang, Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah. (Jakarta: Badan penerbit FHUI, 2011), hlm. 131.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar