Selasa, 12 Juni 2012

Dualisme Badan Layanan Umum I


Rabu, 13 Juni 2012 Pukul 07.29
  
Badan Layanan Umum atau biasa disingkat BLU menurut pasal 1 ayat (1) tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara merupakan instansi di lingkungan pemerintah dan atau pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan layanan kepada masyarakat berupa berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatarnya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Tujuan BLU didalam pasal 68 ayat (1) Undang-Undang No 1 tahun 2004 tersebut dibentuk (1) untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan (2) mencerdaskan kehidupan bangsa.
Badan Layanan Umum berbeda dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), walaupun dalam beberapa hal memiliki persamaan. BUMN merupakan personifikasi negara dalam wujudnya sebagai badan hukum perdata, tetapi bertujuan mendukung terwujudnya aktivitas perekonomian untuk kesejahteraan bersama.[1] BUMN memperoleh privillage dari negara untuk melaksanakan kegiatan usaha tertentu sehingga secara yuridis negara sebagai entitas hukum publik dan organisasi kekuasaan tertentu tidak dapat berperan aktif dan langsung dalam kegiatan usaha yang akan mengurangi fungsinya melaksanakan pemerintahan dan pelayanan publik sehingga secara integral diarahkan tidak hanya sebagai aktor usaha tetapi juga mencari laba yang tercermin dalam pasal 2 ayat (1) huruf b UU Nomor 19 tahun 2003.
BLU juga berbeda dengan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, jika BUMN didirikan dengan pemisahan negara yang dipisahkan melalui peraturan pemerintah, BUMD didirikan dengan pemisahan kekayaan daerah berdasarkan peraturan daerah yang penyelenggaraannya lebih dekat kearah desentralisasi dan otonomi daerah. BUMD memiliki keterkaitan erat dengan pemerintah daerah dalam rangka mengelola dan memeprtanggungjawabkan perusahaan. Hal ini berarti kedudukan BUMD adalah sebagai transfer regulated, yaitu perusahaan yang nyata milik daerah atau perusahaan yang dilakukan bukan oleh negara sendiri melainkan daerah otonom yang bersangkutan dengan mengadakan pemisahan kekayaan daerah atau sebagai bentuk investasi daerah. Dalam status hukum keuangan, BUMD sebagai badan hukum perdata keuangan tidak termasuk keuangan daerah dalam APBD apalagi keuangan negara.[2]
BLU juga berbeda dengan Yayasan sebagai badan hukum (legal entity) “Yayasan adalah badan hukum yang terdiri dari kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota” menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Yayasan. Sebagai badan hukum keungannya terpisah secara tegas agar hak dan kewajibannya yang dapat dinilai dengan uang jelas secara hukum. Yayasan sebagai badan hukum perdata berbeda dengan perusahaan yang diarahkan mencapai keuntungan, karena yayasan memiliki kepentingan pada pencapaian maksud dan tujuan yang diberikan kewenangan bersifat delegasi atau mandat dalam rangka menjalankan sebagain kewenangan pemerintah.[3]
Jika melihat status keuangan BLU sendiri bisa dikategorikan sebagai keuangan negara karena dari sisi regulasi, tata kelola dan resiko masih berada pada lingkungan kuasa hukum keuangan negara itu menurut Dian Puji N. Simatupang.[4] Namun BLU yang tidak hanya dapat dibentuk oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan pelayanan publik negara juga dapat dibentuk pemerintah daerah dengan menjalankan praktik usaha berkaitan dengan pelayanan publik daerah yang disebut dengan BLUD, bukankah dalam konsep keuangan negara Dian Puji N. Simatupang mengatakan bahwa “...APBN adalah wujud keuangan negara sehingga keuangan negara tidak berwujud pada bentuk keuangan negara yang lain untuk mencapai kepastian hukum.”[5] Menjadi pertanyaan bagimanakah sebenarnya status instanis ketika menggunakan pola BLU tersebut yang dibentuk pemerintah daerah dengan menjalankan praktik usaha berkaitan dengan pelayanan publik daerah disebut dengan BLUD yang diatur Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan  Badan Layanan Umum Daerah. BLU merupakan konsep baru tapi memiliki berbagai kerancuan secara yuridisnya. (G-Mv) to be continue...


[1] Panji Anoraga, BUMN, Swasta dan Koperasi Tiga Pelaku Ekonomi, (Semarang: Pustaka Jaya, 1994), hlm. 21.
[2] Dian Puji N. Simatupang, Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah. (Jakarta: Badan penerbit FHUI, 2011), hlm. 229-233.
[3] Ibid., hlm. 291.
[4] Ibid., hlm. 281.
[5] Ibid., Kata Pengantar Paradoks Rasionalitas..

1 komentar:

  1. Menarik.. artikel mbak mevi mengenai BLU ini.. Menurut pendapat saya, sebenarnya pola pengelolaan keuangan BLU ini merupakan jalan tengah dalam pengelolaan keuangan negara, dimana pemerintah menghendaki adanya "keluwesan" pengelolaan keuangan oleh satuan kerja. Sebagai contoh adalah pengelolaan oleh rumah sakit. Jika rumah sakit tersebut dikelola dengan mekanisme pengelolaan APBN/APBD maka mereka akan terikat dalam pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanjanya. Pendapatan yang diterima oleh rumah sakit tersebut harus disetor terlebih dahulu ke kas negara/kas daerah dan diformulasikan dalam belanja. Tentunya dengan mekanisme demikian, maka pendapatan tersebut tidak dapat segera untuk membiayai operasional rumah sakit. Makanya kemudian dengan adanya pola BLU tersebut, bertujuan untuk meningkatkan fungsi pelayanan.. dan itu yang seharusnya dilakukan oleh satker-satker yang menerapkan pola pengelolaan BLU.. agar mereka senantiasa memperbaiki PELAYANAN sebagaimana tujuan awal dibuat mekanisme pengelolaan BLU. demikian sedikit sharing...

    BalasHapus