Rabu, 13 Juni 2012 Pukul 07.29
Badan Layanan Umum atau biasa disingkat BLU menurut
pasal 1 ayat (1) tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara merupakan instansi di
lingkungan pemerintah dan atau pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan
layanan kepada masyarakat berupa berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang
dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatarnya
didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Tujuan BLU didalam pasal
68 ayat (1) Undang-Undang No 1 tahun 2004 tersebut dibentuk (1) untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan
umum dan (2) mencerdaskan kehidupan bangsa.
Badan Layanan Umum berbeda dengan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), walaupun dalam beberapa hal memiliki persamaan. BUMN merupakan
personifikasi negara dalam wujudnya sebagai badan hukum perdata, tetapi
bertujuan mendukung terwujudnya aktivitas perekonomian untuk kesejahteraan
bersama.[1]
BUMN memperoleh privillage dari
negara untuk melaksanakan kegiatan usaha tertentu sehingga secara yuridis
negara sebagai entitas hukum publik dan organisasi kekuasaan tertentu tidak
dapat berperan aktif dan langsung dalam kegiatan usaha yang akan mengurangi
fungsinya melaksanakan pemerintahan dan pelayanan publik sehingga secara
integral diarahkan tidak hanya sebagai aktor usaha tetapi juga mencari laba
yang tercermin dalam pasal 2 ayat (1) huruf b UU Nomor 19 tahun 2003.
BLU juga berbeda dengan Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) yang diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
jika BUMN didirikan dengan pemisahan negara yang dipisahkan melalui peraturan
pemerintah, BUMD didirikan dengan pemisahan kekayaan daerah berdasarkan
peraturan daerah yang penyelenggaraannya lebih dekat kearah desentralisasi dan
otonomi daerah. BUMD memiliki keterkaitan erat dengan pemerintah daerah dalam
rangka mengelola dan memeprtanggungjawabkan perusahaan. Hal ini berarti
kedudukan BUMD adalah sebagai transfer
regulated, yaitu perusahaan yang nyata milik daerah atau perusahaan yang
dilakukan bukan oleh negara sendiri melainkan daerah otonom yang bersangkutan
dengan mengadakan pemisahan kekayaan daerah atau sebagai bentuk investasi
daerah. Dalam status hukum keuangan, BUMD sebagai badan hukum perdata keuangan
tidak termasuk keuangan daerah dalam APBD apalagi keuangan negara.[2]
BLU juga berbeda dengan Yayasan sebagai badan hukum
(legal entity) “Yayasan adalah badan
hukum yang terdiri dari kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk
mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak
mempunyai anggota” menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Yayasan. Sebagai
badan hukum keungannya terpisah secara tegas agar hak dan kewajibannya yang
dapat dinilai dengan uang jelas secara hukum. Yayasan sebagai badan hukum
perdata berbeda dengan perusahaan yang diarahkan mencapai keuntungan, karena yayasan
memiliki kepentingan pada pencapaian maksud dan tujuan yang diberikan
kewenangan bersifat delegasi atau mandat dalam rangka menjalankan sebagain
kewenangan pemerintah.[3]
Jika melihat status keuangan BLU sendiri bisa
dikategorikan sebagai keuangan negara karena dari sisi regulasi, tata kelola
dan resiko masih berada pada lingkungan kuasa hukum keuangan negara itu menurut
Dian Puji N. Simatupang.[4] Namun
BLU yang tidak hanya dapat dibentuk oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan
pelayanan publik negara juga dapat dibentuk pemerintah daerah dengan
menjalankan praktik usaha berkaitan dengan pelayanan publik daerah yang disebut
dengan BLUD, bukankah dalam konsep keuangan negara Dian Puji N. Simatupang mengatakan
bahwa “...APBN adalah wujud keuangan
negara sehingga keuangan negara tidak berwujud pada bentuk keuangan negara yang
lain untuk mencapai kepastian hukum.”[5] Menjadi
pertanyaan bagimanakah sebenarnya status instanis ketika menggunakan pola BLU
tersebut yang dibentuk pemerintah daerah dengan menjalankan praktik usaha
berkaitan dengan pelayanan publik daerah disebut dengan BLUD yang diatur Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. BLU
merupakan konsep baru tapi memiliki berbagai kerancuan secara yuridisnya.
(G-Mv) to be continue...
[1] Panji
Anoraga, BUMN, Swasta dan Koperasi Tiga
Pelaku Ekonomi, (Semarang: Pustaka Jaya, 1994), hlm. 21.
[2] Dian
Puji N. Simatupang, Paradoks Rasionalitas
Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja
Keuangan Pemerintah. (Jakarta: Badan penerbit FHUI, 2011), hlm. 229-233.
[3] Ibid., hlm. 291.
[4] Ibid., hlm. 281.
[5] Ibid., Kata Pengantar Paradoks Rasionalitas..
Menarik.. artikel mbak mevi mengenai BLU ini.. Menurut pendapat saya, sebenarnya pola pengelolaan keuangan BLU ini merupakan jalan tengah dalam pengelolaan keuangan negara, dimana pemerintah menghendaki adanya "keluwesan" pengelolaan keuangan oleh satuan kerja. Sebagai contoh adalah pengelolaan oleh rumah sakit. Jika rumah sakit tersebut dikelola dengan mekanisme pengelolaan APBN/APBD maka mereka akan terikat dalam pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanjanya. Pendapatan yang diterima oleh rumah sakit tersebut harus disetor terlebih dahulu ke kas negara/kas daerah dan diformulasikan dalam belanja. Tentunya dengan mekanisme demikian, maka pendapatan tersebut tidak dapat segera untuk membiayai operasional rumah sakit. Makanya kemudian dengan adanya pola BLU tersebut, bertujuan untuk meningkatkan fungsi pelayanan.. dan itu yang seharusnya dilakukan oleh satker-satker yang menerapkan pola pengelolaan BLU.. agar mereka senantiasa memperbaiki PELAYANAN sebagaimana tujuan awal dibuat mekanisme pengelolaan BLU. demikian sedikit sharing...
BalasHapus