Jimly
Asshiddiqie dalam makalahnya “Lembaga-Lembaga Negara Organ Konstitusional
Menurut UUD 1945. Dalam ketentuan UUD 1945, terdapat lebih dari 35 subjek
jabatan atau subjek hukum kelembagaan yang dapat dikaitkan dengan pengertian
lembaga atau organ negara dalam arti yang luas. Artian luas disini mengambil pandangan
yang didasarkan atas pendapat Hans Kelsen yang menyatakan bahwa semua organ
yang menjalankan fungsi-fungsi ‘law-creating function and law-applying
function’ adalah merupakan organ atau lembaga negara. Lihat Hans Kelsen,
The General Theory of Law and State. Berdasarkan pandangan Hans Kelsen ini,
setiap warga negara yang sedang berada dalam keadaan menjalankan suatu
ketentuan undang-undang juga dapat disebut sebagai organ negara dalam arti
luas, misalnya, ketika warga negara yang bersangkutan sedang melaksanakan hak
politiknya untuk memilih dalam pemilihan umum. Yang bersangkutan dianggap
sedang menjalankan undang-undang (law applying function) dan juga sedang
melakukan perbuatan hukum untuk membentuk lembaga perwakilan rakyat (law
creating function) melalui pemilihan umum yang sedang ia ikuti.
(i)
Presiden;
(Pasal 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, dan Pasal 16 UUD 1945)
(ii)
Wakil
Presiden; (Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, 6A, Pasal 7, 7A, 7B, 7C, Pasal 8, dan
Pasal 9 UUD 1945)
(iii)
Dewan
pertimbangan presiden; (Pasal 16 UUD 1945)
(iv)
Kementerian
Negara; (Pasal 17 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) UUD 1945)
(v)
Menteri
Luar Negeri; (Pasal 8 ayat (3) UUD 1945)
(vi)
Menteri
Dalam Negeri; (Pasal 8 ayat (3) UUD 1945)
(vii)
Menteri
Pertahanan; (Pasal 8 ayat (3) UUD 1945)
(viii)
Duta;
(Pasal 13 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945)
(ix)
Konsul;
(Pasal 13 ayat (1) UUD 1945)
(x)
Pemerintahan
Daerah Provinsi; (Pasal 18 dan 18A UUD 1945)
(xi)
Gubernur/Kepala
Pemerintah Daerah Provinsi; (Pasal 18 ayat (4) UUD 1945)
(xii)
DPRD
Provinsi; (Pasal 18 ayat (3) UUD 1945)
(xiii)
Pemerintahan
Daerah Kabupten; (Pasal 18 dan 18A UUD 1945)
(xiv)
Bupati/Kepala
Pemerintah Daerah Kabupaten; (Pasal 18 ayat (4) UUD 1945)
(xv)
DPRD
Kabupaten; (Pasal 18 ayat (3) UUD 1945)
(xvi)
Pemerintahan
Daerah Kota; (Pasal 18 dan 18A UUD 1945)
(xvii)
Walikota/Kepala
Pemerintah Daerah Kota; (Pasal 18 ayat (4) UUD 1945)
(xviii)
DPRD
Kota; (Pasal 18 ayat (3))
(xix)
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR); (Pasal 2, 3, dan Pasal 8 ayat (2) dan (3) UUD
1945)
(xx)
Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR); (Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945)
(xxi)
Dewan
Perwakilan Daerah (DPD); (Pasal 22E ayat (5) UUD 1945)
(xxii)
Komisi
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, yang diatur lebih
lanjut dengan undang-undang; (Pasal 23E, 23F, dan Pasal 23G UUD 1945)
(xxiii)
Bank
sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya
diatur lebih lanjut dengan undang-undang; (Pasal 23D UUD 1945)
(xxiv)
Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK); (Pasal 23E, 23F, dan Pasal 23G UUD 1945)
(xxv)
Mahkamah
Agung (MA); (Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945)
(xxvi)
Mahkamah
Konstitusi (MK); (Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945)
(xxvii)
Komisi
Yudisial (KY); (Pasal 24B dan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945)
(xxviii)
Tentara
Nasional Indonesia (TNI), (Pasal 30 ayat (1), (2), (3), dan ayat (5) UUD 1945) dan
(xxix)
Kepolisian
Negara Republik Indonesia (POLRI). (Pasal 30 ayat (1), (2), (4), dan ayat (5)
UUD 1945)
(xxx)
Angkatan
Darat (AD); (Pasal 10 UUD 1945)
(xxxi)
Angkatan
Laut (AL); (Pasal 10 UUD 1945)
(xxxii)
Angkatan
Udara (AU); (Pasal 10 UUD 1945)
(xxxiii)
Satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa; (Pasal 18B ayat (1) UUD
1945)
(xxxiv)
Badan-badan
lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman35 (Pasal 24 ayat (3)
UUD 1945), seperti Kejaksaan Agung (Lihat Rancangan Perubahan Keempat UUD 1945,
Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan sebagainya;
(xxxv)
Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat. (Pasal 18B ayat (2) UUD 1945)
Menurut Jimly Ashidiqie Lembaga-lembaga
atau badan-badan seperti (a) Kejaksaan, (b) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan
(c) Komnasham memang tidak disebutkan secara eksplisit keberadaannya dalam UUD
1945. Namun, sejalan dengan prinsip Negara Hukum yang ditentukan oleh Pasal 1
ayat (3) UUD 1945, lembaga-lembaga negara tersebut tetap dapat disebut memiliki
kedudukan yang sangat penting dalam hukum tatanegara (constitutional law).
Apalagi, secara konstitusional keberadaanya dapat dilacak berdasarkan perintah
implisit ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 sendiri yang menyatakan,
“Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam undang-undang”. Oleh karena itu, lembaga-lembaga penegak hukum yang
dibentuk berdasarkan undang-undang tersebut, seperti Kejaksaan, KPK, dan
Komnasham dapat disebut memiliki “constitutional importance” sebagai
lembaga-lembaga konstitusional di luar UUD 1945.
Lagi
pula, seperti dikemukakan oleh C. F. Strong dalam “Konstitusi-Konstitusi Modern (Modern Constitututional)” Konstitusi secara luas
merupakan seluruh sistem ketatanegaraan negara,
kumpulan berbagai peraturan yang membentuk dan mengatur/mengarahkan
pemerintahan, peraturan ini sebagian
bersifat legal dalam artian bahwa pengadilan hukum mengakui dan menerapkan
peraturan-peraturan tersebut, dan sebagian bersifat non-legal atau ekstra legal, yang berupa kebiasaan,
saling-pengertian, adat atau konvensi, yang tidak diakui oleh pengadilan
sebagai hukum namun tidak kalah efektifnya dalam mengatur ketatanegaraan
dibandingkan dengan apa yang secara baku disebut hukum.[1] A.V. Dicey ataupun C. F. Strong dalam makalah Jimly Asshiddiqie, meyatakan “constitutional
law” itu sendiri tidak hanya bersumber pada hukum konstitusi yang tertulis,
tetapi juga berdasarkan berdasarkan konstitusi yang tidak tertulis. Yang dimaksud
dengan “the laws of the constitution” dalam arti yang tertulispun tidak
hanya menyangkut teks undang-undang dasar, tetapi juga undang-undang tertulis
juga dapat menjadi sumber dalam hukum tatanegara (the sources of
constitutional law). Oleh karena itu, lembaga-lembaga penegak hukum seperti
Kejaksaan Agung, KPK, dan Komnasham, meskipun tidak disebut secara eksplisit
dalam UUD 1945, kedudukannya tetap memiliki “constitutional importance”
yang sama pentingnya dengan Kepolisian Negara (POLRI) dan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) yang kedudukan dan kewenangannya secara khusus diatur dalam
Pasal 30 UUD 1945.
Sedangkan ketentuan mengenai poin (iv) yaitu Kementerian
Negara yang secara gamblang
dijelaskan dalam BAB V Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 dalam
pasal 17 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) UUD 1945), menurut Jimly dalam bukunya “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi” menyatakan banyak orang yang kurang sungguh-sungguh
mengenai hal ini karena dianggap merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kewenangan mutlak (hak preorogatif) presiden sebagai kepala negarayang
sekaligus adalah kepala pemerintahan. Sebenarnya pengaturan soal kementerian
negara yang tersendiri dalam Bab yang terpisah dari Bab III tentang Kekuasaan
Pemerintahan Negara yang berkaitan dengan kekuasaan presiden, mengandung arti
yang tersendiri pula.[2]
Melihat rumusan asli maupun perubahan dalam pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia, yang harus dicatat mengenai pokok pengaturan yang pisahkan
kedalam Bab tersendiri mengindikasikan bahwa kedudukan menteri-menteri negara
itu dianggap sangat penting dalam sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945. Presiden
Republik Indonesia menurut Undang-Undang Negara Republik Indonesia jika ditilik
lebih dalam menurut pendapat Jimly Asshiddiqie bukanlah merupakan kepala
eksekutif. Kepala eksekutif sebenarnya adalah menteri yang bertanggungjawab
kepada presiden.sehingga diartikan kedudukannya sangatlah tinggi sebagai
pemimpin pemerintahan eksekutif sehari-hari, artinya para menteri itulah yang
pada pokoknya merupakan pimpinan pemerintahan dalam artian sebenarnya dibidang
tugasnya masing-masing.[3]
[1] K.C Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern (Modern
Constitution), cet. 5. (Bandung: Nusa Media, (Diterjemahkan dari karya K.C.
Wheare, Modern Constitution, Oxford
University Press, 1996)), hlm. 1.
[2] Jimly Ashidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekjend dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hlm. 172.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar