Ide
negara hukum, selain terkait dengan konsep rechtsstaat dan the rule of law juga berkaitan dengan konsep nomocracy yang berasal dari kata nomos dan cratos.
Perkataan nomokrasi itu dapat dipersamakan dengan nomos (norma) dan cratos atau kratien (kekuasaan) dalam
demokrasi. Yang dipakai sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan dalam
kekuasaan adalah norma hukum.
Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan
tertinggi.[1]
Jimly
Ashidiqie sudah menyinggung negara
hukum akan terlaksana jika terwujudnya negara kesejahteraan (welfare state). Konsep negara kesejahteraan merupakan keadaan dimana hukum merupakan sarana untuk mencapai tujuan ideal bersama yaitu cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara
demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalui gagasan negara hukum (nomocracy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat sebagaimana tujuan bangsa Indonesia.[2]
Dalam
pembentukan negara kesejahteraan tersebut peran pemerintah sebagai pelaksana
kenegaraan sangatlah penting. Pemerintah sering dipadankan dengan istilah governance yang diartikan sebagai mekanisme,
praktek, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumberdaya serta memecahkan masalah-masalah publik. Konsep governance disini menuntut peran negara
dan otomatis diikuti pula dengan redefinisi peran warga sehingga warga dapat
memainkan peran yang signifikan, yaitu aktif memonitor akuntabilitas
pemerintah. Governance dimaknai
sebagai “kita” (subjek yang kolektif dan aktif), berbeda dengan government yang dimaknai “mereka”.
Makna good
didalam good governance disini
mengandung dua pengertian, pertama,
nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat dan
nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan
kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan
keadilan sosial; kedua, aspek-aspek
fungsional dari pemerintahan yang efektiv dan efisien dalam pelaksanaan
tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
United Nations Development Programme mengemukakan “governance
is defined as the exercise of political, economic, and administrative authority
to manage a nation’s affairs”. Kepemerintahan diartikan sebagai pelaksanaan
kewenangan politik, ekonomi dan administratif untuk memanage urusan-urusan
bangsa. “Economic governance includes
processes of decision-making that directly or indirectly affect a country’s
economis activities or its relationships with other economics”. Economic
governance mencakup pembuatan keputusan yang mempengaruhi langsung atau
tidak langsung aktivita ekonomi negara atau berhubungan dengan ekonomi lainnya.
“Political governance refer to decision-making
and policy implementation of a legitimate and authoritative stat”. Political
governance menunjuk pada proses pembuatan keputusan dan implementasi
kebijakan suatu negara yang legitimate dan authoritatif. “Administrative governance is a system of policy implementation carried
out through en efficient, independent, accountable and open public sector”.
Administrative governance adalah sistem implementasi kebijakan yang
melaksanakan sektor publik secara efisien, tidak memihak, akutable dan terbuka.
Perbuatan pemerintah
tercermin didalam kegiatan administrasi negara yang dilakukan dalam menjalankan
pemerintahan suatu negara. Victor Situmorang menyatakan perbuatan administrasi
negara merupakan perwujudan tugas pemerintah.[3] Hal
ini berarti tujuan-tujuan negara dimanifestasikan dalam tindakan atau
tugas-tugas pemerintah yang tidak kalah luasnya dengan tujuan negara itu
sendiri. Kemudian konsep mengenai administrasi negara tersebut diberikan ilmu
hukum yang kemudian memberikan pedoman dan jalan bagi administrasi negara agar
dapat dijalankan didalam negara melalui disiplin Hukum Administrasi Negara.
Dalam HAN hubungan hukum yang terjadi antara penguasa merupakan subjek yang
memerintah dan warga negara sebagai subjek yang diperintah, HAN inilah kemudian
yang menjadi kerangka acuan atau koridor hukum bagi administasi negara agar
dapat menyelenggaran tugas-tugas pelayanan publik sebaik mungkin.
Dalam menjalankan
administrasi negara, pemerintah yang dikepalai oleh Presiden didalam pelaksanaannya
dilakukan oleh Kementerian Negara. Hal ini tertulis jelas dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 17 ayat (1) “Presiden dibantu
oleh menteri-menteri negara”. Menurut Jimly Asshiddiqie dalam makalahnya yang berjudul “Lembaga-Lembaga Negara Organ Konstitusional Menurut UUD 1945” menyatakan bahwa Kementerian Negara termasuk dalam subjek hukum kelembagaan yang dapat dikaitkan dengan pengertian
lembaga atau organ negara dalam arti yang luas sesuai dengan pendapat Hans Kelsen dalam The
General Theory of Law and State
yang menyatakan bahwa semua organ yang menjalankan fungsi-fungsi ‘law-creating
function and law-applying function’ adalah merupakan organ atau lembaga
negara. Berdasarkan pandangan Hans Kelsen ini, setiap warga negara yang sedang
berada dalam keadaan menjalankan suatu ketentuan undang-undang juga dapat
disebut sebagai organ negara dalam arti luas, misalnya, ketika warga negara
yang bersangkutan sedang melaksanakan hak politiknya untuk memilih dalam
pemilihan umum. Yang bersangkutan dianggap sedang menjalankan undang-undang (law
applying function) dan juga sedang melakukan perbuatan hukum untuk
membentuk lembaga perwakilan rakyat (law creating function) melalui
pemilihan umum yang sedang ia ikuti.
Pemerintah dalam menjalankan tugasnya
terutama dalam pemberian pelayanan publik, pelaksanaannya ditunjang oleh regulasi
sebagai cerminan dari teori Hukum Administrasi Negara. Dalam Peraturan
Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum jo
Perubahannya Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2012 yang didalam pasal 34 ayat
(1) “Pembinaan teknis BLU dilakukan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD
terkait” dan ayat (2) Pembinaan keuangan BLU dilakukan oleh Menteri
Keuangan/PPKD sesuai dengan kewenangaanya. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun
2005 yang berpayung kepada Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara menurut penulis terdapat kerancuan yang sangat signifikan
terutama didalam pasal 34.
Menurut penulis terdapat kesimpangsiuran wewenang
antar Kementerian Negara sebagai salah satu Lembaga Negara dalam melakukan apa
yang diatur didalam pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) mengenai pembinaan teknis
oleh Kementerian Teknis terkait dan pembinaan keuangan oleh Kementerian
Keuangan. Tidak hanya itu saja terdapat juga permasalahan penafsiran Peraturan
Pemerintah No. 23 Tahun 2005 pasal 34 ayat (3) yang menyatakan “Dalam
pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
dibentuk dewan pengawas” dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 109/PMK.05/2007
tentang Dewan Pengawas Badan Layanan Umum didalam pasal 1 poin (4) dikatakan
bahwa “Dewan Pengawas BLU, yang selanjutnya disebut
Dewan Pengawas, adalah organ BLU yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pengelolaan
BLU”. Padahal yang dimaksud dengan
pasal 34 ayat (3) Peraturan
Pemerintah No. 23 Tahun 2005, Dewan Pengawas disini bertugas melaksanakan
pembinaan teknis dan pembinaan keuangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar