Sebelum lebih jauh, Prajudi Atmosudirjo menyatakan
bahwa perlu dibedakan antara kewenangan (authority,
gezag) dan wewenang (competence,
bevoegdheid), walaupun dalam praktek pembedaannya tidak selalu dirasakan
perlu. “Kewenangan” adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan yang
berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari
Kekuasaan Eksekutif Administratif. Kewenangan (yang biasanya terdiri atas
beberapa wewenang adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu
atau kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap
sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan
wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Didalam kewenangan
terdapat wewenang-wewenang (rechts-bevoegdheden).
Wewenang adalah kekuasaan untuk
melakukan sesuatu tindak hukum publik, misalnya wewenang
menandatangani/menerbitkan surat-surat izin dari seoranf pejabat atas nama
Menteri, sedangkan kewenangan tetap berada di tangan Menteri (delegasi
wewenang).[1]
Sedangkan Philipus M. Hadjon menganggap wewenang dan
kewenangan tersebut sejajar. Dalam hukum tata negara, wewenang (bevogheid) dideskripsikan sebagai
kekuasaan hukum (rechtsmacht).
Menurut Henc Van Maarseveen dalam Philipus M. Hadjon wewenang dalam konsep
hukum publik berkaitan dengan kekuasaan hukum, yang terdiri atas tiga komponen;
1) pengaruh 2) dasar hukum 3) konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah
penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum.
Komponen dasar hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar
hukumnya dan komponen konformitas hukum, mengandung makna standar umum berupa
semua jenis wewenang dan standar khusus untuk jenis weweang tertentu.[2]
Dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat dua
cara utama memperoleh wewenang pemerintahan, yaitu atribusi dan delegasi,
sedangkan mandat ditempatkan sebagai cara tersendiri karena mandat bukan
pelimpahan wewenang seperti delegasi.
1.
Atribusi
Menurut Van Wijk Konijnenbelt dalam Philipus M.
Hadjon, atribusi dikatakan sebagai cara normal untuk memperoleh wewenang
pemerintahan. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit)
yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Atribusi
dikatakan merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ
tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan
peraturan perundang-undangan.[3]
Menurut istilah
hukum, atribusi(attributie) mengandung arti pembagian
(kekuasaan), dalam kata attributie van rechsmacht,
diartikan sebagai pembagian kekuasaan kepada berbagai instansi (absolute
competentie atau kompetensi mutlak), yang merupakan sebagai lawan dari distributie
van rechtmacht.[4]
Dalam hal ini, pembentuk undang-undang menentukan penguasa pemerintah yang baru
dan memberikan kepadanya suatu organ pemerintahan berikut wewenangnya, baik
kepada organ yang sudah ada maupun yang dibentuk pada kesempatan itu.
2.
Delegasi
Hukum administrasi Belanda saat ini telah merumuskan
pegertian delegasi dalam wet Belanda
yang terkenal dengan AWB (Alegemen Wet
Bestuursrecht). J.B.J.M. ten Berge dalam Philipus M. Hadjon menyatakan
bahwa dalam artikel 10:3 AWB, delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang
(untuk membuat “besluit”) oleh
pejabat pemerintahan kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi
tanggungjawab pihak lain tersebut, yang memberi/melimpahkan wewenang tersebut
delegans dan yang menerima wewenang disebut delegataris. Syarat-syarat delegasi
menurut J.B.J.M. ten Berge dalam Philipus M. Hadjon:[5]
a.
Delegasi
harus defenitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang
yang telah dilimpahkan itu.
b.
Delegasi
harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi
hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan
perundang-undangan.
c.
Delegasi
tidak kepada bawahan, artinya dalam hubugan hirarki kepegawaian tidak diperkenankan
adanya delegasi.
d.
Kewajiban
memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta
penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.
e.
Adanya
peraturan kebijakan (beleidsregel)
untuk memberikan instruksi tentang penggunaan wewenang tersebut.
Kata delegasi(delegatie)
mengandung arti penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang
lebih rendah. Penyerahan yang demikian dianggap tidak dapat dibenarkan selain
dengan atau berdasarkan kekuatan hukum. Dengan delegasi, ada penyerahan
wewenang dari badan atau pejabat pemerintahan yang satu kepada badan atau
pejabat pemerintahan yang satu kepada badan atau pejabat pemerintahan lainnya.[6]
Wewenang delegasi(delegatie
bevoegdheid), adalah wewenang yang diperoleh atas dasar pelimpahan wewenang
dari badan/organ pemerintahan yang lain. Sifat wewenang delegasi adalah
pelimpahan yang bersumber dari wewenang atribusi atau
undang-undang. Akibat hukum
ketika wewenang dijalankan menjadi tanggungjawab penerima delegasi
(delegataris),
wewenang tersebut tidak dapat digunakan lagi oleh pemberi wewenang, kecuali
pemberi wewenang (delegans) menilai terjadi penyimpangan atau pertentangan dalam
menjalankan wewenang tersebut, sehingga wewenang dicabut kembali oleh pemberi
delegasi (mandans) dengan berpegang pada asas contrariusactus.
3.
Mandat
Mandat merupakan suatu penugasan kepada bawahan,
misalnya untuk membuat keputusan a.n. pejabat yang memberi mandat. Keputusan
itu merupakan keputusan pejabat yang memberi mandat, dengan demikian tanggung
jawab jabatan tetap pada pemberi mandat.
Wewenang mandate
(mandaat bovoegdheid),
adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara
bawahan dengan atasan, kecuali dilarang secara tegas oleh perundang-undangan.
Ditinjau dari segi tanggungjawab dan tanggung gugat atas wewenang yang
dijalankan setiap saat wewenang tersebut dapat digunakan atau ditarik kembali oleh
pemberi mandate (mandans)[7].
Wewenang Kementerian Teknis dan Kementerian Keuangan
tercantum didalam Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
dalam pasal 68 ayat (3) yang menyatakan “Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum
pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan
oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang
bersangkutan”, wewenang yang tercantum jelas dalam Undang-undang ini
dikategorikan merupakan delegasi langsung dari peraturan perundang-undangan
yang ada, disamping itu juga dijelaskan lebih lanjut didalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum jo Perubahannya Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun
2012 dalam pasal 34 ayat (1) “Pembinaan teknis BLU dilakukan oleh
menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD terkait “dan
ayat (2) “Pembinaan keuangan BLU dilakukan oleh Menteri Keuangan/PPKD
sesuai dengan kewenangaanya”.
Pemberian wewenang kepada dua kementerian disini,
memunculkan tumpang tindik penafsiran tugas masing-masing untuk satu objek hal
yang diatur. Hal ini menyebabkan kesukaran dalam sinkronisasi dua lembaga. Dalam
pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dinyatakan
bahwa “Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”. Kemudian
dikaitkan kembali dengan Badan Layanan umum yang pengertiannya didalam
Peraturan Pemerintah No.23 tahun 2005 pasal 1 ayat (1) menjelaskan lebih
terperinci “Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi
di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatarnya didasarkan pada
prinsip efisiensi dan produktivitas”. Sedangkan di pasal 1 ayat (2) nya
dijelaskan “Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, yang selanjutnya
disebut PPK-BLU, adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas
berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini. sebagai pengecualian dan ketentuan pengelolaan keuangan negara
pada umumnya”.
Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara dalam BAB XII tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum pasal 68 tersebut jelas yang diatur adalah mengenai pengelolaan keuangan
begitu juga dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun
2005 yang menjelaskan tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, sehingga
fungsi Kementerian Teknis sebagai pembinaan teknis yang seperti apa yang
diharapkan dalam Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang diatur didalam
Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2005 BAB V tentang Pengelolaan Keuangan BLU,
secara tersurat yang diatur dalam pengelolaan keuangan BLU adalah:
1. Perencanaan dan Penganggaran (diatur dalam Bagian
Pertama pasal 10 hingga pasal 13)
2. Pendapatan dan Belanja (diatur dalam Bagian Ketiga
pasal 14 dan pasal 15)
3. Pengelolaan Kas (diatur didalam Bagian Keempat
pasal 16)
4. Pengelolaan Piutang dan Utang (diatur didalam
Bagian Kelima pasal 17 dan pasal 18)
5. Investasi (diatur dalam Bagian Keenam pasal 19)
6. Pengelolaan Barang (diatur dalam Bagian Ketujuh
pasal 20 hingga pasal 23)
7. Penyelesaian Kerugian (diatur dalam Bagian Kedelapan
pasal 24)
8. Akuntansi, Pelaporan dan Pertanggungjawaban
Keuangan (diatur dalam Bagian Kesembilan pasal 25)
9. Akuntabilitas Kinerja (diatur dalam Bagian
Kesepuluh pasal 28)
10. Surplus dan Defisit (diatur dalam Bagian Kesebelas
pasal 29)
Menjadi sebuah pertanyaan kenapa Kementerian teknis
dalam pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum juga diberikan sebuah
wewenang pembinaan, padahal jelas dapat dilihat dalam Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum notabene nya hanya memerlukan pembinaan keuangan semata,
lebih tepatnya pembinaan BLU ini diberikan kepada satu kementerian saja yaitu
Kementerian Keuangan.
Dalam pelaksanaannya ternyata yang siap hanyalah
Kementerian Keuangan sebagai pembina keuangan, hal ini dapat dilihat dalam
badan Kementerian Keuangan membentuk Direktorat Jenderal Pembendaharaan yang
fungsinya:
1.
Penyiapan perumusan kebijakan
Departemen Keuangan di bidang perbendaharaan negara;
2.
Pelaksanaan kebijakan di bidang
perbendaharaan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3.
Penyusunan standar, norma,
pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang perbendaharaan negara;
4.
Pemberian bimbingan teknis dan
evaluasi di bidang perbendaharaan negara;
5.
Pelaksanaan administrasi
Direktorat Jenderal.
Yang dalam pelaksanaannya membentuk Susunan Organisasi
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan terdiri dari:
a.
Sekretariat Direktorat
Jenderal;
b.
Direktorat Pelaksanaan
Anggaran;
c.
Direktorat Pengelolaan Kas
Negara;
d.
Direktorat Transformasi
Perbendaharaan;
e.
Direktorat Sistem Manajemen
Investasi;
f.
Direktorat Pembinaan
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum;
g.
Direktorat Akuntansi dan
Pelaporan Keuangan;
h.
Direktorat Sistem
Perbendaharaan.
Dapat dilihat dibentuknya direktorat khusus yang
menangani Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Dalam pelaksanaannya direktorat ini secara
umum bertugas menyiapkan perumusan kebijakan, standardisasi, penetapan,
bimbingan teknis, evaluasi dan monitoring pengelolaan keuangan Badan Layanan
Umum (BLU) dan secara khusus bertugas:
1.
Penyiapan rumusan kebijakan
penilaian dan penetapan BLU, kebijakan penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran,
pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, piutang dan utang, investasi,
akuntansi, serta pelaporan dan pertanggungjawaban BLU;
2.
Penyusunan standardisasi teknis
pelaksanaan anggaran, pengelolaan kas, piutang, utang, investasi, akuntansi,
serta pelaporan dan pertanggungjawaban BLU;
3.
Pelaksanaan bimbingan teknis
penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran, pengelolaan kas, piutang, utang,
investasi, akuntansi, serta pelaporan dan pertanggungjawaban BLU;
4.
Pelaksanaan monitoring dan
evaluasi pendapatan, belanja, pengelolaan kas, piutang, utang, investasi,
akuntansi , serta pelaporan dan pertanggungjawaban BLU;
5.
Pelaksanaan urusan tata usaha
Direktorat.
Sedangkan jika dibandingkan dengan Kementerian Teknis
yang dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2005, Kementrian teknis
disini yang terkait dengan tugas operasionalnya dalam pemberian pelayanan
publik seperti layanan kesehatan, pendidikan, pengelolaan kawasan, dan lisensi.
Seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saja tidak punya bagian khusus
yang bertugas dalam kaitannya sebagai pembinaan teknis Badan Layanan Umum.
Jadi dualisme wewenang yang tercantum dalam
Undang-Undang No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan juga Peraturan
Pemerintah No.23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
merupakan kebijakan yang bisa dikatakan bias dan akan sulit untuk mencapai
fungsi pelayanan publik dalam sistem Hukum Administrasi seperti di Prancis menurut
Rolland Principle dalam Philipus M. Hadjon, seperti:[8]
1.
Continueity
Continueity merupakan kontinuitas dalam ketentuan hukum tentang pelayanan, mengikuti
tindakan yang diperlukan dalam kepentingan publik.
2.
Adaptability
Adaptability mensyaratkan pejabat pemerintah harus dapat merubah spesifikasi pelayanan
sesuai dengan perubahan-perubahan kepentingan publik.
3.
Equality of users
Equality of users merupakan aspek umum ketatanegaraan mengenai
prinsip persamaan dalam pelayanan publik.
4.
Neutrality
Neutrality merefleksikan cara negara liberal yang tidak sekadar mencari untuk
menentukan idea kehidupan yang baik bagi warga negara, tetapi lebih jauh lagi
adalah memfasilitasi pilihan-pilihan tentang perbedaan cara hidup.
[1] Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, cet. 10.
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 78.
[2] Philipus M. Hadjon, et al., Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2011), hlm. 10.
[4] Agusalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hlm. 101.
[5]Hadjon, et al.,
op. cit., hlm. 12.
[7] Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum
Administrasi, (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2008), hlm. 60.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar